Keuntungan finansial yang diperoleh
perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS)
dari pengoperasian jalur kereta api rute Semarang – Solo – Yogyakarta dan
Jakarta – Bogor memberi harapan baru kepada para pengusaha swasta yang telah
berminat untuk menanamkan modal mereka dalam kegiatan jasa angkutan dengan
kereta api. Perusahaan kereta api swasta Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM)
mendapat konsesi dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1894 untuk membangun
jalan rel di sekitar kota Kediri, Jombang dan Pare. Konstruksi jalan rel
pertama dibangun KSM pada rute Jombang – Pare – Kediri (50 km) dan selesai dibangun
pada tahun 1897.
Stasiun Pare merupakan kantor pusat
dari KSM. Di stasiun ini juga terdapat dipo lokomotif. Pada tahun 1897 – 1900,
KSM telah berhasil membangun jalan rel dengan total panjang 121 km. Untuk
melayani rute ini, KSM mendatangkan lokomotif uap B23 dari pabrik Henschel
(Jerman) pada tahun 1900 sebanyak 1 lokomotif saja. Lokomotif ini digunakan
untuk menarik rangkaian kereta yang mengangkut hasil perkebunan dan penumpang
pada rute jarak dekat. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tingkat produktivitas
pertanian dan perkebunan di kota Kediri dapat dikatakan cukup besar, banyak
tanah yang disewakan untuk menjadi perkebunan.
Loko B23
Lokomotif B23 memiliki susunan roda
0-4-0T merupakan lokomotif yang memiliki dua silinder berdimensi 280 mm x 430
mm pada sisi luar dengan roda penggerak berdiameter 800 mm. Lokomotif ini dapat
melaju hingga kecepatan maksimum 25 km/jam. Berat keseluruhan 16 ton. Lokomotif
B23 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara.
Karena KSM mengalami kesulitan
keuangan maka lokomotif ini dipindah ke kota Madiun untuk dioperasionalkan di
jalan rel milik perusahaan kereta api Staats Spoorwegen. Satu-satunya lokomotif
seri B23 yang didatangkan di Indonesia adalah B23 01. B23 01 saat ini dipajang
di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar