Berikut tulisan tentang nasib mereka yang diambil dari
malangraya.web.id Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia memang takkan pernah
dilupakan rakyat. Akan tetapi, tak banyak sosok pejuang yang bisa diingat
rakyat. Djuwari (82 tahun), barangkali satu dari sekian banyak pejuang yang
terlupakan. Kakek yang pernah memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman
itu, kini masih berkubang dalam kemiskinan.
Tepat pada peringatan proklamasi 17
Agustus, Malang Post berusaha menelusuri jejak pemanggul tandu sang Panglima
Besar. Djuwari berdomisili di Dusun Goliman, Desa Parang Kecamatan Banyakan
Kabupaten Kediri, kaki Gunung Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute
gerilya Panglima Besar Sudirman Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.
Dari
Malang, dusun Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam perjalanan
darat. Kabupaten Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota Batu, melewati Kota
Pare Kediri hingga menyusur Tugu Simpang Gumul ikon Kabupaten Kediri. Terus
melaju ke jurusan barat, jalur ke Dusun Goliman tak terlalu sulit ditemukan.
Sejam melewati jalur mendaki di pegunungan Wilis, Malang Post pun tiba di
pedusunan yang tengah diterpa kemarau. Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal
Soedirman memang sangat jauh dari keramaian kota. Titik start gerilya berada di
kampung yang dikepung bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.
“Inggih leres,
kulo Djuwari, sampeyan saking pundi?” kata seorang kakek yang tengah duduk
sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman. Melihat sosok
Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun, yang 61 tahun lalu
memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa
kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala,
menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan. Sang pemanggul tandu
Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan.
Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya
yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh
dibanding baju atasan.
Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman
Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding
anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen. Sama
halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.
“Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman
menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,” ujar suami almarhum Saminah itu ketika
ditanya balas jasa perjuangannya. Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman
(panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang
memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian.
Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang
hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali
didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu,
setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik
kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu
manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak
kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya. Perjalanan
mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan
dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena
melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat.
Seringkali perjalanan
berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa. “Teko
Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu
iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya. Ayah dari empat putra dan
empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun
lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya
dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal
mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya. “Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu
seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.
Dari empat
warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari
seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu masih memiliki kisah dan
semangat masa-masa perang kemerdekaan. Ketika ditanya soal periode kepemimpinan
Presiden Soekarno hingga SBY, Djuwari dengan tegas mengatakan TIDAK ADA
BEDANYA.
Sumber at: http://www.hajsmy.us/2011/10/sosok-pemikul-tandu-jendral-sudirman.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar